BLANGKON JOGJA DAN BLANGKON SOLO, Pengrajin Blangkon Jogja, Penjahit Surjan, Pengrajin Busana jawa, Spesialis Pengrajin Busana Jawa. Lontong, Kamus, Timang, Sabuk Jawa, Busana Jawa, Busana adat Blangkon Sunan, Blangkon Bisa di cuci, Blangkon alusan bisa di cuci, Grosir Blangkon, Grosir Surjan, Surjan Lurik, Surjan Kembang.
Showing posts with label Pengrajin Blangkon jogja alusan. Show all posts
Showing posts with label Pengrajin Blangkon jogja alusan. Show all posts
Busana adat Jawa biasa disebut dengan busana kejawen yang mempunyai perumpamaan atau pralambang tertentu terutama bagi orang Jawa yang mengenakannya. Busana Jawa penuh dengan piwulang sinandhi, kaya akan suatu ajaran tersirat yang terkait dengan filosofi Jawa. Ajaran dalam busana kejawen ini merupakan ajaran untuk melakukan segala sesuatu didunia ini secara harmoni yang berkaitan dengan aktifitas sehari – hari, baik dalam hubungannya dengan sesamemanusia, dengan diri sendiri, maupun dengan Tuhan Yang Maha Kuasa pencipta segala sesuatu dimuka bumi ini. Busana Kejawen yang akan dijelaskan dibawah ini terdiri dari busana atau pakaian yang dikenakan pada bagian atas tubuh, seperti iket, udheng;bagian tubuh seperti rasukan atau bisa disebut dengan baju, jarik, sabuk, epek,timang,bagian belakang tubuh yakni keris, dan bagian bawah kaki yaitu candela.
Iket adalah
tali kepala yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk penutup kepala.Cara mengenakan
iket harus kenceng, kuat supaya ikatannya tidak mudah terlepas. Bagi orang Jawa
arti iket adalah agar manusia memiliki pamikir atau pemikiran yang kencang,
tidak mudah terombang – ambing hanya karena factor situasi atau orang lain
tanpa pertimbangan yang matang
Udheng
dikenakan pada bagian kepala dengan cara mengenakan seperti mengenakan topi.
Bila sudah dikenakan diatas kepala, iket menjadi sulit dibedakan dengan udheng
karena ujudnya sama. Udheng berasal dari kata mudheng artinya mengerti dengan
jelas. Maknanya manusia akan memiliki pemikiran yang kukuh bila sudah mudheng
atau memahami tujuan hidupnya. Manusia memiliki fitrah untuk senantiasa mencari
kesejatian hidup sebagai sangkan paraning dumadi. Makna lain dari udheng ini
adalah agar manusia memiliki keahlian / ketrampilan serta dapat menjalankan
pekerjaannya dengan pemahaman yang memadai karena memiliki dasar pengetahuan.
Busana Jawa seperti
beskap selalu dilengkapi dengan benik ( kancing ) disebelah kiri & kanan.
Lambing dari benik itu adalah bahwa manusia dalam melakukan tindakannya dalam
segala hal selalu diniknik; artinya diperhitungkan dengan cermat. Apapun yang
dilakukan janganlah sampai merugikan orang lain, dapat menjaga antara
kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
Sabuk digunakan
dengan cara melingkarkan di badan atau lebih tepatnya dipinggang. Sa-buk artinya
hanya impas saja, ngga untung & ngga rugi. Makna sabuk adalah agar manusia
menggunakan badannya untuk bekerja sungguh – sungguh, jangan sampai
pekerjaannya tidak menghasilkan atau tidak menguntungkan ( buk ).
Timang adalah
pralambang bahwa ilmu yang ditempuh harus dipahami dengan jelas & gamblang,
agar tidak gamang atau menimbulkan rasa kuatir. (samang – samang; berasal dari
kata timang )
Jarik adalah
kain panjang yang dikenakan untuk menutupi tubuh sepanjang kaki. Jarik artinya
aja serik. Jangan mudah iri terhadap orang lain, karena iri hati hanya akan
menimbulkan rasa emosional, grusa – grusu dalam menanggapi segala masalah.
Mengenakan
jarik atau kain selalu dengan cara mewiru ujungnya sedemikian rupa. Wiru atau
wiron bisa terjadi dengan cara melipat – lipat ujung jari sehingga berwujud
wiru. Wiru artinya wiwiren aja nganti kleru. Olahlah segala hal sedemikian rupa
sehingga menumbuhkan rasa menyenangkan dan harmonis, jangan sampai menimbulkan
kekeliruan dan disharmoni.
Canela
dijabarkan dari canthelna jroning nala, atau peganglah kuat di dalam hatimu.
Canela sama dengan selop,cripu atau sandal. Canela dikenakan di kaki dengan
maksud agar kita selalu menyembah lahir & batin, hanya di kaki-Nya
Curiga atau
keris berujud wilahan, bilahan dan terdapat didalam warangka atau wadahnya.
Curiga dan warangka adalah pralambang bahwa manusia sebagai ciptaan menyembah
Tuhan sebagai penciptanya dalam sebuah hubungan kawula jumbuhing Gusti. Curiga
ditempatkan di belakang artinya dalam menyembah yang Maha Kuasa hendaknya
manusia bisa ngungkurake godhaning Syetan yang senantiasa mengganggu manusia
ketika akan bertindak kebaikan
Blangkonadalah tutup kepala yang dibuat
dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional
jawa.
Sebutan
blangkon berasal dari kata blangko,istilah yang dipakai masyarakat jawa untuk
mengatakan sesuatu yang siap pakai. Dulunya blangkon tidak berbentuk bulat dan
siap pakai,melainkan sama seperti ikat kepala lainnya yakni melalui proses
pengikatan yang cukup rumit. Seiring berjalannya waktu,maka tercipta inovasi
untuk membuat ikat kepala siap pakai yang selanjutnya dijuluki sebagai blangkon.
Blangkon
sebenarnya bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat
dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional
jawa. Untuk beberapa tipe blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian
belakang blangkon yang disebut mondholan. Mondholan ini menandakan model rambut
pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka dibagian belakang
kepala. Sehingga bagian tersebut tersembul dibagian belakang blangkon. Lilitan
rambut itu harus kencang supaya tidak mudah lepas.
Sekarang
lilitan rambut oanjang yang menjadi mondholan sudah dimodifikasi karena orang
sekarang kebanyakan berambut pendek dengan membuat mondholan yang dijahit
langsung pada bagian belakang blangkon. Blangkon surakarta mondholannya trepes
atau gepeng sedang mondholan gaya yogyakarta berbentuk bulat seperti onde-onde.
Meluruskan beberapa anggapan masyarakat tentang filosofi blangkon
Jawa/Yogyakarta dengan mondolan yang sering dianggap sebagai watak orang Jawa
yang "suka main belakang" tidak terus terang dan licik. Masyarakat
Jawa memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkan perasaan dan harapannya
dengan simbol-simbol unik dan artistik yang sebenarnya mengandung ajaran dan
filosofi adiluhung yang patut dijadikan teladan : (Jangan sampai Wong Jawa kari
separo/ilang Jawane)
Tentang Blangkon Yogyakarta
► Bentuk blangkon dengan gaya Yogyakarta hanya
terdapat dua buah, yaitu : blangkon dengan bentuk Mataraman dan
blangkon dengan bentuk Kagok. Kedua blangkon tersebut terbentuk
dari bagian-bagian yang hampir sama, yaitu wiron/wiru, mondolan, cetetan,
kemadha, dan tanjunga.
► Motif-motif yang
digunakan dalam pembuatan blangkon antara lain : motif modang,
blumbangan, kumitir, celengkewengen, jumputan, sido asih, sido wirasat,
taruntum. Motif-motif di atas adalah motif yang sering digunakan dalam
pembuatan blangkon dengan gaya Yogyakarta. Selain motif utama di atas masih
ada motif-motif lain yang sering digunakan dalam pembuatan blangkon. Pemakaian
motif diluar motif yang dibuat khusus untuk motif iket merupakan perkembangan
dalam pemakaian motif batik.
► Makna Simbolis bentuk
blangkon gaya Yogyakarta antara lain :
• Wiron/wiru, berjumlah 17
lipatan yang melambangkan jumlah rakaat sholat dalam satu hari.
• Mondolan mempunyai
makna kebulatan tekad seorang pria dalam melaksanakan tugasnya walaupun tugas
yang diberikan sangat berat.
• Cetetan, mempunyai
makna permohonan pertolongan kepada Allah SWT.
• Kemadha, bermakna
menyamakan atau menganggap sama seperti putra sendiri.
• Tanjungan mempunyai
makna kebagusan, artinya supaya terlihat lebih tampan sehingga disanjung-sanjung
dan dipuja.
Sedangakan makna simbolis motif yang
diterapkan pada pembuatan blangkon antara lain :
• Motif Modang, mengandung
makna kesaktian untuk meredam angkara murka, yaitu sebelum mengalahkan musuh
dari luar harus mengalahkan musuh yang datangnya dari dalam sendiri.
• Motif Celengkewengen, menggambaran keberanian juga berarti sifat kejujuran, polos
dan apa adanya
• Motif Kumitir, merupakan pengambaran orang yang tidak mau berdiam diri dan selalu berusaha keras dalam kehidupannya.
• Motif Blumbangan, berasal dari kata blumbang yang berarti kolam atau tempat yang penuh dengan air. Air sendiri merupakan salah satu dari sumber kehidupan.
• Motif Jumputan, berasal dari kata jumput yang berarti mengambil sebagian atau mengambil beberapa unsur yang baik.
• Motif Taruntum, motif ini berbentuk tebaran bunga-bunga kecil yang melambangkan bintang dimalam hari.maknanya bahwa kehidupan manusia tidak lepas dari dua hal, seperti gelap terang, bungah susah, kaya miskin dan sebagainya.
• Motif Wirasat, artinya berupa pengharapan supaya dikabulkan semua
permohonannya dan bisa mencapai kedudukan yang tinggi serta bisa mandiri
terpenuhi secara materi. h. Motif Sido Asih, motif ini mempunyai harapan agar
mendapat perhatian dari sesama dan saling mengasihi. (soen)
Tambahan adanya mondolan di
blangkon Ngayogyakarta dibakukan oleh Hamengkubuwono VII, untuk
menyiasati rambut pria Jogja yang sebelumnya panjang mulai dipengaruhi budaya
barat dengan memotongnya pendek seperti kita sekarang. Jadi rambut yang sebelumnya
dimasukkan pada bagian belakang udheng/blangkon yang membuat adanya tonjolan
rambut pd belakang blangkon diganti dengan tonjolan mondolan.
Adaptasi ini tidak terjadi pada
blangkon gaya Solo sehingga pada blangkon Solo kempes di belakang.
Bagi orang Jawa, makna blangkon bukan sekedar sebagai penutup kepala. Blangkon memiliki filosofi, sekaligus merupakan simbol status bagi pemakainya.
Asal Kata dan Makna Blangkon
Istilah blangkon berasal dari kata ‘blangko’, dipakai untuk merujuk pada sesuatu yang siap pakai. Sebab awalnya penutup kepala ini memang tidak bisa langsung dipakai begitu saja. Melainkan diikat melalui proses pembuatan simpul yang cukup rumit.
Maka dari itu diciptakanlah blangkon, penutup kepala yang siap pakai.
Masing-masing daerah memiliki blangkon dengan ciri khas yang berbeda. Tekstur dan motif blangkon gaya Yogyakarta, misalnya, berbeda dari blangkon Jawa Tengah, Solo, ataupun Jawa Barat.
Terkait blangkon Solo dan Jogja, ada perbedaan ciri fisik sekaligus filosofi yang cukup menarik Bagi orang Jawa, makna blangkon bukan sekedar sebagai penutup kepala. Blangkon memiliki filosofi, sekaligus merupakan simbol status bagi pemakainya.
Asal Kata dan Makna Blangkon
Istilah blangkon berasal dari kata ‘blangko’, dipakai untuk merujuk pada sesuatu yang siap pakai. Sebab awalnya penutup kepala ini memang tidak bisa langsung dipakai begitu saja. Melainkan diikat melalui proses pembuatan simpul yang cukup rumit.
Maka dari itu diciptakanlah blangkon, penutup kepala yang siap pakai.Masing-masing daerah memiliki blangkon dengan ciri khas yang berbeda. Tekstur dan motif blangkon gaya Yogyakarta, misalnya, berbeda dari blangkon Jawa Tengah, Solo, ataupun Jawa Barat.
Terkait blangkon Solo dan Jogja, ada perbedaan ciri fisik sekaligus filosofi yang cukup menarik.
1. Bentuk dan Makna Blangkon Yogyakarta
Blangkon gaya Jogja memiliki mondolan di bagian
belakang. Pasalnya, jaman dulu para kaum Adam Jogja cenderung memanjangkan
rambut. Sehingga ketika diikat, rambut panjang perlu digelung ke atas dan
dibungkus ikatan kain. Kemudian berkembanglah menjadi blangkon yang sekarang.
Mondolan juga erat kaitannya dengan filosofi orang Jawa
yang diharapkan pandai menyimpan rahasia. Tidak mudah membuka aib, baik aib
diri sendiri maupun orang lain. Halus dalam berbicara dan bertingkah laku
lembut serta berhati-hati sebagai wujud keluhuran budi pekerti.
Orang yang bijak akan mampu tersenyum dan tertawa
meskipun hatinya menangis. Ia hanya memikirkan bagaimana berbuat baik terhadap
sesama, meski diri sendiri menjadi korbannya.
2. Bentuk dan Makna Blangkon Solo
Dikarenakan pengaruh Belanda, masyarakat Solo lebih dulu mengenal cukur
rambut. Bahkan mengenal jas bernama beskap, yang asal katanya sendiri adalah beschaafd (berkebudayaan/ civilized).
Blangkon gaya Surakarta tidak memiliki
tonjolan di bagian belakang. Melainkan terjalin dengan mengikatkan dua pucuk
helai kain di bagian kanan dan kiri. Makna blangkon dalam hal ini adalah
sebagai simbol pertemuan antara jagad alit (mikrokosmos) dengan jagad gedhe (makrokosmos).
blangkonmengisyaratkan jagad gedhe, sedangkan kepala yang
ditumpanginya mengisyaratkan jagad alit. Sebab dalam peranan manusia
sebagai khalifah, kita membutuhkan kekuatan Tuhan. Blangkon menyimbolkan
kekuatan Tuhan yang diperlukan bila manusia ingin menjalankan tugasnya untuk
mengurus alam semesta
Motif Batik Jogjakarta beserta makna dan filosofinya
Motif Batik
Tradisional sudah dikenal sejak jaman dahulu kala di tanah Jawa sebagai
kekayaan seni budaya yang tiada ternilai harganya. Sejarah perkembangan batik
di Jawa erat kaitannya dengan perkembangan motif batik di Jawa Tengah. Seni
batik Yogyakarta adalah bagian dari sejarah perkembangan batik di Jawa Tengah
yang telah berpadu dengan aneka ragam corak atau motif dari daerah lain.
Perjalanan sejarah Batik Yogya erat kaitannya dengan perjanjian
Giyanti pada tahun 1755. Ketika Kerajaan Mataram terbelah menjadi dua, dan
berdirilah kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, busana kerajaan Mataram dibawa
dari Surakarta atau Solo ke Ngayogyakarta, maka Sri Susuhunan Pakubuwana II
membuat rancangan busana baru dan busana adat kraton Surakarta berbeda dengan
busana adat Yogya. Perjanjian ini terjadi di desa Giyanti, yang hasilnya antara
lain wilayah Mataram dibagi dua, yaitu wilayah Surakarta Hadiningrat dibawah
kekuasaan Sri Paduka Susuhunan Pakubuwana II, dan wilayah Ngayogyakarta
Hadiningrat dibawah kekuasaan Kanjeng Pangeran Mangkubumi yang bergelar Ngersa
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati
ing Ngalaga Ngabdul Rachman Sayyidin Panatagama Kalifatullah ingkang jumeneng
kaping I.
Semua benda kraton dibagi dua, busana Mataraman di bawa ke
Ngayoyakarta Hadiningrat, karena Kanjeng Pangeran Mangkubumi ingin
melestarikannya. Karena itu Surakarta Hadiningrat yang dibawah kekuasaan Sri
Paduka Pakubuwana III merancang busana baru yang menjadi busana adat kraton
Surakarta sebagaimana yang masih bisa kita lihat hingga saat ini.
Ciri khas motif batik Yogyakarta : ada dua macam warna dasar kain,
yaitu putih dan hitam, biru tua kehitaman dan coklat soga. Pinggiran kain
putih, diupayakan tidak pecah hingga kemasukan soga, baik kain berwarna dasar
putih atau hitam. Secara garis besar ada 3 sifat motifnya,
Geometris : garis
miring / lereng atau lerek, garis silang atau kawung dan ceplok, anyaman
dan limaran.
Non Geometris : semen
(lunglungan dan boketan).
Simbolis : erat kaitannya
dengan filosofi Hindu-Jawa, diantaranya "Sawat" melambangkan
kekuasaan yang tinggi atau mahkota; "Meru" melambangkan gunung
atau bumi; "Naga" melambangkan air; "Burung"
melambangkan dunia atas atau angin; "Lidah api" melambangkan semangat
yang menyala.
Setiap Sultan yang bertahta berhak membuat peraturan tentang tata
busana. Terakhir Sri Paduka Sultan Hamengku Buwana VIII membuat peraturan tata
busana baru yang berjudul "Pranatan dalem bab namanipun pengagem keprabon
ing Nagari Ngayogyakartga Hadiningrat" yang dimuat dalam Rijksblad van
Djojakarta No. 19, tahun 1927. Yang dimaksud Pangagem Keprabon atau busana
keprabon ialah : bebet prajuritan, bebet nyamping (kain panjang), celana serta
glisire (celana cindhe, sutra, beludru, katun dan gelisirnya), songsong atau
payung. Motif Batik yang dipakai : Parang rusak (parang rusak barong dan parang
rusak gendreh)
Semua putra dalem diijinkan memakai motif batik tersebut di atas.
Motif batik untuk Permaisuri diijinkan sama dengan raja. Garwa ampeyan dalem
diperbolehkan mengenakan motif parang rusak gendreh ke bawah. Garwa Padmi
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati sama dengan suaminya. Garwa Ampeyan Kanjeng
Gusti Pangeran Adipati diijinkan mengenakan motif parang rusak gendreh ke
bawah. Demikian pula dengan putra Kanjeng Gusti Pangeran Adipati. Istri para
Pangeran Putra, Pangeran Putra Raja yang terdahulu/"Pangeran Putra
Sentaning Panjenengan Dalem Nata" sama dengan suaminya. "Garwa
Ampeyan" para Pangeran diijinkan memakai motif "parang rusak gendreh"
ke bawah. Wayah dalem atau cucu raja diperbolehkan memakai motif parang rusak
gendreh ke bawah. Pun demikian untuk Buyut dalem atau cicit raja dan canggah
dalem (putranya cicit raja). Wareng dalem (Putranya canggah raja) ke bawah
diijinkan memakai motif batik parang-parangan dan harus selang-seling, tidak
boeh keseluruhan.
Patih dalem (Patih Raja) diperbolehkan mengenakan motif
"parang rusak barong" ke bawah. Abdi dalem : Wedana Ageng Prajurit,
Pengulu Hakim dan Bupati Nayaka nJawi lan Lebet diperbolehkan meemakai motif
parang rusak gendreh ke bawah. Bupati Patih Kadipaten dan Bupati Polisi
mengenakan motif sama dengan Abdi Dalem di atas. Bupati Anom, Riya Bupati Anom,
Penghulu Landrad, Keparak para Gusti (Nyai Riya) mengenakan motif parang
gendreh ke bawah.
Berkembangnya teknologi batik hingga menjadi sebuah trend fashion
pada segala kalangan usia hingga beragam latar belakang sosial ekonomi dan
profesi, semakin meluasnya motif batik moderen. Trend motif batik semakin bebas
desainnya mengikuti selera konsumen, Motif Batik Yogya banyak menginspirasi
terciptanya pembauran antar motif batik di nusantara ini yang memperkaya motif
batik dan semakin menambah nilai eksotik yang mengagumkan.
Berikut kami sajikan aneka ragam motif Batik Jogjakarta yang populer beserta
makna filosofinya :
Motif Sekar Jagad
Sekar berarti bunga, jagad berarti dunia. Motif sekar jagad
bermakna keanekaragaman bunga di seluruh penjuru dunia yang sangat indah. Motif
ini digunakan orang tua mempelai pengantin pada resepsi atau upacara pernikahan
agar hatinya berbunga-bunga riang gembira
Motif Semen Gurdo
Motif ini digunakan sebagai busana pesta dan busana daerah
dengan makna filosofis agar si pemakai memperoleh berkah dan nampak berwibawa
Motif Semen Gurdo
Motif ini digunakan sebagai busana pesta dan busana daerah
dengan makna filosofis agar si pemakai memperoleh berkah dan nampak berwibawa
Motif Sido Asih
Motif ini termasuk motif
bebas, bukan motif untuk acara-acara khusus. Makna filosofisnya agar si
pemakai disenangi banyak orang
Motif Truntum Srikuncoro
Sebagai busana adat oleh orang tua pengantin
saat temu mempelai pengantin. Makna filosofisnya "Truntum" artinya
menuntun, sebagai orang tua wajib untuk menuntun kedua mempelai agar teguh dan
mencapai kesejahteraan dalam mengarungi hidup baru yang penuh liku-liku.
Itulah penjelasan secara global tentang motif batik Jogjakarta beserta makna
filosofinya. Semoga pembahasan singkat ini berguna bagi pembaca semua untuk
semakin mencintai kebudayaan kita yang adiluhung dan kaya makna ini. Silakan
menikmati pembahasan kami tentang batik yang lainnya, Terimakasih atas
kehadiran Anda.
Blangkon adalah tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional jawa.
Sebutan blangkon berasal dari kata blangko,istilah yang dipakai masyarakat jawa untuk mengatakan sesuatu yang siap pakai.Dulunya blangkon tidak berbentuk bulat dan siap pakai,melainkan sama seperti ikat kepala lainnya yakni melalui proses pengikatan yang cukup rumit.Seiring berjalannya waktu,maka tercipta inovasi untuk membuat ikat kepala siap pakai yang selanjutnya dijuluki sebagai blangkon.
Blangkon sebenarnya bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional jawa.Untuk beberapa tipe blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon yang disebut mondholan.Mondholan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka dibagian belakang kepala.Sehingga bagian tersebut tersembul dibagian belakang blangkon.Lilitan rambut itu harus kencang supaya tidak mudah lepas.
Sekarang lilitan rambut oanjang yang menjadi mondholan sudah dimodifikasi karena orang sekarang kebanyakan berambut pendek dengan membuat mondholan yang dijahit langsung pada bagian belakang blangkon.Blangkon surakarta mondholannya trepes atau gepeng sedang mondholan gaya yogyakarta berbentuk bulat seperti onde-onde.
Blangkonadalah tutup kepala yang dibuat dari batik
dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional jawa.
Sebutan blangkon berasal
dari kata blangko,istilah yang dipakai masyarakat jawa untuk mengatakan sesuatu
yang siap pakai. Dulunya blangkon tidak berbentuk bulat dan siap pakai,melainkan
sama seperti ikat kepala lainnya yakni melalui proses pengikatan yang cukup
rumit. Seiring berjalannya waktu,maka tercipta inovasi untuk membuat ikat kepala
siap pakai yang selanjutnya dijuluki sebagai blangkon.
Blangkon sebenarnya
bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik dan
digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional jawa. Untuk
beberapa tipe blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon
yang disebut mondholan. Mondholan ini menandakan model rambut pria masa itu yang
sering mengikat rambut panjang mereka dibagian belakang kepala.Sehingga bagian
tersebut tersembul dibagian belakang blangkon. Lilitan rambut itu harus kencang
supaya tidak mudah lepas.
Sekarang lilitan rambut panjang yang menjadi mondholan sudah dimodifikasi karena orang sekarang
kebanyakan berambut pendek dengan membuat mondholan yang dijahit langsung pada
bagian belakang blangkon. Blangkon surakarta mondholannya trepes atau gepeng
sedang mondholan gaya yogyakarta berbentuk bulat seperti onde-onde.
Surjan bagi orang Jawa merupakan salah
satu model pakaian adat yang penuh filosofis kehidupan. Surjan merupakan
bebusana adat Jawa atau orang bilang busana kejawen penuh dengan piwulang
sinandhi,kaya akan suatu ajaran tersirat yang terkait dengan filosofi Jawa (
Kejawen ).
Ajaran dalam busana kejawen ini merupakan
ajaran untuk melakukan segala sesuatu di dunia ini secara harmoni yang
berkaitan dengan aktifitas sehari -hari,baik dalam hubungannya dengan sesama
manusia,dengan diri sendiri,maupun dengan Tuhan Yang Maha Kuasa pencipta segala
sesuatu dimuka bumi ini. dan khusus untuk pakaian adat pria ini kurang lebih
terdiri dari Blangkon,Surjan/beskap,Keris,Kain Jarik (Kain Samping),sabuk
sindur dan canela/cemila/selop.
Penggunaan pakaian adat yang sekarang ini
sudah jarang dilakukan atau hanya sekedar dipakai pada saat ada hajatan saja,
berakibat pengetahuan tentang tata cara pemakaian pakaian adat menjadi semakin
minim. Terlebih lagi kebanyakan dari masyarakat sudah jarang yang memiliki
sendiri seperangkat pakaian adat.
Blangkon
Blangkon adalah tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan
oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa.
Sebutan Blangkon berasal dari kata
blangko,istilah yang dipakai masyarakat Jawa untuk mengatakan sesuatu yang siap
pakai. Dulunya blangkon tidak berbentuk buat dan siap pakai,melainkan sama
seperti ikat kepala lainnya yakni melalui proses pengikatan yang cukup rumit.
Seiring berjalannya waktu, maka terciptanya inovasi untuk membuat ikat kepala
siap pakai yang selanjutnya dijuluki sebagai blangkon.
Blangkon sebenarnya bentuk praktis dari iket yang
merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria
sebagian dari pakaian tradisional Jawa. Untuk beberapa tipe
blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon yang
disebut mondholan. Mondholan ini menandakan model rambut pria
masa itu yang seiring mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala,
sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. Lilitan rambut itu
harus kencang supaya tidak mudah lepas.
Sehingga lilitan rambut panjang yang
menjadi mondholan sudah dimodifikasi karena orang sekarang kebanyakan berambut
pendek dengan membuat mondholan yang dijahit langsung pada bagian belakang
blangkon. Blangkon Surakarta mondholannya trepes atau gepeng sedaang mondholan
gaya Yogyakarta berbentuk bulat seperti ondel-ondel.
Surjan
Surjan /sur.jan/Jw. adalah baju laki-laki
khas Jawa berkerah tegak;berlengan panjang,terbuat dari lurik atau cita
berkembang Kata surjan merupakan bentuk tembung garba (gabungan dua kata atau
lebih, diringkas menjadi dua suku kata saja) yaitu dari kata suraksa-janma
(menjadi manusia).Surjan menurut salah satu makalah yang diterbitkan oleh Tepas
Dwarapura Keraton Yogyakarta berasal dari istilah siro + jan yang berarti
pelita atau yang memberi terang.
Dikatakan (pakaian) surjan berasal dari
zaman Mataram Islam awal. Pakaian adat pria ini merupakan pakaian adat model
Yogyakarta walaupun konon katannya Surjan merupakan pakaian khas dari kerajaan
Mataram sebelum terpecah menjadi dua,Surakarta dan Yogyakarta.Surjan awalnya
diciptakan oleh Sunan Kalijaga yang diinspirasi oleh model pakaian pada waktu itu
dan selanjutnya digunakan oleh Mataram.
Pakaian surjan dapat disebut pakaian
"takwa" , karena itu di dalam baju surjan terkandung makna -makna
filosofi,diantarannya: bagian leher baju surjan memiliki kancing 3 pasang (6
biji kancing) yang kesemuannya itu menggambarkan rukun iman.Rukun iman tersebut
adalah iman kepada Allah,iman kepada malaikat,iman kepada kitab-kitab,iman
kepada utusan Allah,iman kepada hari kiamat,iman kepada takdir. Selain itu
surjan juga memiliki dua buah kancing di bagian dada sebelah kiri dan kanan.Hal
itu adalah simbol dua kalimat syahadat yang berbunyi,ashaduallaillahaillalah
dan Waashaduanna Muhammada rasullah. Disamping itu surjan memiliki tiga buah
kancing didalam (bagian dada dekat perut) yang letaknya tertutup (Tidak kelihatan)
dari luar yang menggambarkan tiga macam nafsu manusia yang harus diredam
/dikendalikan/ditutu. Nafsu-nafsu tersebut adalah nafsu bahimah (hewani).Nafsu
Lauwamah (Nafsu Makan makan dan minum) dan Nafsu Syaitoniah (nafsu
setan).(K.R.T.Jatiningrat 2008.Rasukan Taqwa lan Pranakan ing Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat,Yogyakarta ; Terlepas Dwarapura Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat.)
Jadi jenis pakaian atau baju bukan sekedar
untuk fashion dan menutupi anggota tubuh supaya tidak kedinginan dan kepanasan
serta untuk kepantasan saja,namun didalamnya memang terkandung makna filosofi
yang dalam.
Surjan sendiri terdapat dua jenis yaitusurjan lurik dan surjan Ontrokusuma,dikatakan surjan lurik karena motif
garis-garis,sedangkan surjan ontrokusuma karena bermotif bunga (kusuma). Jenis
dan motif kain yang digunakan untuk membuat surjan tersebut bukan kain polos
ataupun kain lurik buatan dalam negeri saja,namun untuk surjan Ontrokusuma
tersebut dari kain sutera bermotif hiasan berbagai macam bunga.
Surjan otrokusuma hanya khusus sebagai
pakaian para bangsawan Mataram,sedangkan pakaian seragam bagi aparat kerajinan
hingga prajurit,surjan seragamnya menggunakan bahan kain lurik dalam
negeri,dengan motif lurik (garis-garis lurus). Untuk membedakan jenjang
jabatan/kedudukan pemakainya,ditandai atau dibedakan dari besar-kecilnya motif
lurik,warna dasar kain lurik dan warna-warni luriknya. Semakin besar luriknya
berarti semakin tinggi jabatannya;atau semakin kecil luriknya berarti semakin
rendah jabatannya. Demikian pula warna dasar kain dan warna-warni luriknya akan
menunjukkan pangkat (derajat/martabat)sesuai gelar kebangsawanannya.
Pemakaian Surjan ini dikombinasikan dengan
tutup kepala atau Blangkon dengan "mondolan" di belakangnya. Dahulu
pada jaman kerajaan mondolan ini difungsikan untuk menyimpan rambut pria yang
panjang biar kelihatan rapi.
Beskap
Beskap merupakan pakaian adat gaya Surakarta,bentuknyanseperti
jas didesain sendiri oleh orang Belanda yang berasal dari kata beschaafd yang
berarti civilized atau berkebudayaan. Warna yang lazim dari beskap biasanya
hitam,walaupun warna lain seperti putih atau coklat juga tidak jarang digunakan.
Selain beskap,ada lagi pakaian adat pria gaya Surakarta ini yaitu
Atela. Perbedaan antara keduanya yang mudah dilihat dari pemsangan kancing
baju. Pada beskap,kancing baju terpasang di kanan dan kiri,sementara pada
atela,kancing baju terpasang di tegah dari kerah leher ke bawah.
Beskap adalah sejenis kemeja pria resmi
dalam tradisi Jawa Mataram untuk dikenakan pada acara-acara resmi atau
penting. Busana atasan ini diperkenalkan pada akhir abad ke-18 oleh kalangan
kerajaan-kerajaan di wilayah Vorstenlanden namun kemudian menyebar ke berbagai
wilayah pengaruh budayanya.
Beskap berbentuk kemeja tebal,tidak
berkerah lipat,biasanya berwarna gelap,namun hampir selalu polos. Bagian depan
berbentuk simetris,dengan pola kancing menyamping (tidak tegak lurus). Tergantung
jenisnya,terdapat perbedaan potongan pada bagian belakang,untuk mengantisipasi
keberadaan keris.Beskap selalu dikombinasikan dengan jarik (kain panjang yang
dibebatkan untuk menutupi kaki).
Beskap memiliki beberapa variasi yang
berbeda potongannya.Berikut adalah jenis-jenis beskap:beskap gaya Solo, beskap
gaya Yogya, beskap landung dan beskap gaya kulon
Cara memakai Surjan atau Beskap
Seperti telah disampaikan di atas bahwa
Surjan atau beskap merupakan salah satu busana pria adat Jawa yang bersumber
dari keraton Mataram. Cara memakainya harus dilakukan dengan tatacara yang
memiliki kaidah etika dan estitika tertentu.Susuhunan Pakubuwono IV,Raja
Surakarta telah meningatkan kita dalam berpakaian,yaitu : Nyandhang panganggo
iku dadekna sarana hambangun manungso njobo njero,marmane pantesan
panganggonira,trapna traping panganggon,cudhukana marang kahananing
badanira,wujud lan wernane jumbuhna kalawan dedeg pidegso miwah pakulitaniro.
(Berpakaian seharusnya dijadikan saran
untuk membangun kepribadian manusia lahir dan bathin. Maksudnya berpantaslah
dalam berpakaian: berpakaianlah sesuai tempat dan keadaaan, cocokkan antara
badan dengan pakaian yang dikenakan,antara situasi, warna dan model/corak
pakaian,tinggi badan,berat badan dan warna kulit)
Perlengkapan busana surjan atau beskap:
.Nyamping/ sinjang
.Stagen
.Sabuk
.Epek lengkap timang dan lerep (anak
timang)
.keris / duwung
.Selop / canela
.Blangkon /udheng /mit
Kain Jarik
Jarik adalah kain panjang berwarna latar hitam dengan corak batik warna coklat
dengan motif batik yang beraneka ragam. Kain sebagai khasanah Batik Tradisional
Indonesia seringkali disebut juga jarit. Pada masa lalu nyamping atau jarik
yang digunakan biasanya berupa batik tulis, tetapi untuk saat ini rupanya tidak
jarang pula dipergunakan batik cap.
Jarik yang bercorak batik mempunyai maksud
bahwa jarik batik adalah kostum yang dipakai para ksatria dalam tradisi budaya
Jawa (Pakaian kejawen). Dengan memakai kostum berupa jarik ini diharapkan para
pemain mempunyai jiwa ksatria dan berwibawa.
.Memakai Sinjang/Nyamping
Nyamping atau Sinjang sebelum dikenakan
haruslah diwiru terlebih dahulu. Untuk nyamping busana pria, lebar wiru
berukuran 3 jari tangan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam mengenakan
nyamping adalah motif batik pada kain nyamping tersebut. Jika nyamping memiliki
motif ganda,posisi kepala burung haruslah berada diatas. Ada juga motif yang
memakai simbol/bentuk seperti candi atau rumah,maka posisi atap haruslah berada
diatas. Saat mengenakan nyamping,posisi wiru berada ditengah tubuh memanjang ke
bawah. Tangan kanan memegang wiru dan tangan kiri memegang ujung kain satunya
(biasa disebut pengasih. Pengasih ini dililitkan ke kanan hingga pas ditengah
tubuh.Usahakan bagian bawah tingginya sama dan cukup menutupi bagian kemiri
kaki (bagian belang kaki yang menojol). Setelah dirasa cukup sesuai maka
nyamping harus diikat oleh stagen.
.Memakai Stagen
stagen dililitkan dari arah kiri ke kanan
mulai dari bawah melingkar ke arah atas.Jika stagen milik anda terlalu
panjang,anda dapat meneruskan memilitkan stagen kembali ke arah bawah.Jika
sudah cukup,ujung stagen ditekuk dan diselipkan pada bagian bahwa lilitan
stagen untuk mengunci lilitan tersebut. Selanjutnya untuk menutupi stagen,kenakanla
sabuk.
.Memakai Sabuk
Cara memakai sabuk mirip dengan cara mengenakan stagen yaitu
dililitkan berulang kali pada bagian bawah dada hingga ke pinggang. Hanya saja
sabuk dililitkan dari arah kanan ke kiri mulai dari atas ke arah bawah.Yang perlu
diperhatikan pada pemakaian sabuk adalah jarik sap (garis atas yang satu dengan
berikutnya kurang lebih 2 jari tangan). Ujung dari sabuk harus berakhir pada
bagian kiri depan dan dapat dikunci dengan peniti.
.Memakai Epek / Kamus
Bentuk epek mirip dengan ikat pinggang.
Epek memiliki bagian pengunci yang disebut timang dan bagian lerep (anak
timang). Cara mengenakan epek yaitu timang berada pada posisi tengah lurus
dengan wiru nyamping. Sementara lerep pada posisi sebelah kiri.Jika memiliki
epek yang panjang maka bagian ujung dapat dilipat dan dimasukkan ke bagian
lerep. Epek harus terpasang pada lilitan sabuk bagian bahwa,kira-kira 2 jari
dari garis bawah sabuk.
Warna sabuk dan epek ada beberapa
macam sesuai dengan keperluan.contohnya :
Sabuk berwarna unggu dengan epek berwarna
hijau artinya Wredha Ginugah yang dapat membangun suasana tentram.
Sabuk berwarna hijau atau biru dengan epek
berwarna warna merah artinya Satriya Mangsa yang dapat membangun jiwa terampil
dan berwibawa.
Sabuk berwarna Sindur (merah bercampur
putih) digunakan pada saat hajatan penganten.Warna ini dipakai bagi yang
memiliki hajatan (hamengku damel).
Sementara untuk besan tidak ada aturan
yang pasti.Hanya saja pada saat jaman penjajah Jepang,pernah ada paguyuban
yang menentukan warna sabuk Pandhan Binethot (warna hijau dan kuning)
bagi besan.
.Memakai Keris/Duwung
Keris atau dawung dikenakan padabagian
belakang busana.Keris diselipkan pada sabuk, tepatnya pada
sab ke tiga dari bagian sabuk. Posisi arah dan kemiringan seperti pada foto di
sebelah ini.
Untuk jenis keris ada banyak sekali
macamnya,hanya saja yang banyak dikenal oleh awam jenis Ladrang dan
Gayaman. Dhuwung ladrang adalah keris resmi yang digunakan dalam upacara ataupun
pahargyan (upacara penganten). Sementara jenis gayaman digunakan sehari-hari
oleh prajurit keraton.
.Memakai Selop/ canela
Selop dikenakan sebagai alas kaki. Yang
perlu diperhatikan pada pemakaian selop adalah ukuran dari selop itu.Jangan
mengenakan selop yang lebih besar dari ukuran kaki tapi pilihlah selop yang
lebih kecil. Ini bertujuan untuk menghindari agar langkah kita tidak terbelit
pada kain nyamping.
.Memakai Blangkon/ udeng/Mid
Pada bagian depan blangkon terdapat
segita. Ujung segitiga tersebut harus berada ditengah-tengah kening. Blangkon
jangan dikenakan terlalu mendongak ataupun menunduk.
Ada satu hal yang perlu diingat saat
mengenakan busana adat,yaitu bahwa sepintas orang dapat mengenali kepribadian
seseorang dari busanannya baik warnanya maupun jenis busananya, cara memakai
dan bertingkah laku saat mengenakannya.