Meluruskan beberapa anggapan masyarakat tentang filosofi blangkon
Jawa/Yogyakarta dengan mondolan yang sering dianggap sebagai watak orang Jawa
yang "suka main belakang" tidak terus terang dan licik. Masyarakat
Jawa memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkan perasaan dan harapannya
dengan simbol-simbol unik dan artistik yang sebenarnya mengandung ajaran dan
filosofi adiluhung yang patut dijadikan teladan : (Jangan sampai Wong Jawa kari
separo/ilang Jawane)
Tentang Blangkon Yogyakarta
► Bentuk blangkon dengan gaya Yogyakarta hanya
terdapat dua buah, yaitu : blangkon dengan bentuk Mataraman dan
blangkon dengan bentuk Kagok. Kedua blangkon tersebut terbentuk
dari bagian-bagian yang hampir sama, yaitu wiron/wiru, mondolan, cetetan,
kemadha, dan tanjunga.
► Motif-motif yang
digunakan dalam pembuatan blangkon antara lain : motif modang,
blumbangan, kumitir, celengkewengen, jumputan, sido asih, sido wirasat,
taruntum. Motif-motif di atas adalah motif yang sering digunakan dalam
pembuatan blangkon dengan gaya Yogyakarta. Selain motif utama di atas masih
ada motif-motif lain yang sering digunakan dalam pembuatan blangkon. Pemakaian
motif diluar motif yang dibuat khusus untuk motif iket merupakan perkembangan
dalam pemakaian motif batik.
► Makna Simbolis bentuk
blangkon gaya Yogyakarta antara lain :
• Wiron/wiru, berjumlah 17
lipatan yang melambangkan jumlah rakaat sholat dalam satu hari.
• Mondolan mempunyai
makna kebulatan tekad seorang pria dalam melaksanakan tugasnya walaupun tugas
yang diberikan sangat berat.
• Cetetan, mempunyai
makna permohonan pertolongan kepada Allah SWT.
• Kemadha, bermakna
menyamakan atau menganggap sama seperti putra sendiri.
• Tanjungan mempunyai
makna kebagusan, artinya supaya terlihat lebih tampan sehingga disanjung-sanjung
dan dipuja.
Sedangakan makna simbolis motif yang
diterapkan pada pembuatan blangkon antara lain :
• Motif Modang, mengandung
makna kesaktian untuk meredam angkara murka, yaitu sebelum mengalahkan musuh
dari luar harus mengalahkan musuh yang datangnya dari dalam sendiri.
• Motif Celengkewengen, menggambaran keberanian juga berarti sifat kejujuran, polos
dan apa adanya
• Motif Kumitir, merupakan pengambaran orang yang tidak mau berdiam diri dan selalu berusaha keras dalam kehidupannya.
• Motif Blumbangan, berasal dari kata blumbang yang berarti kolam atau tempat yang penuh dengan air. Air sendiri merupakan salah satu dari sumber kehidupan.
• Motif Jumputan, berasal dari kata jumput yang berarti mengambil sebagian atau mengambil beberapa unsur yang baik.
• Motif Taruntum, motif ini berbentuk tebaran bunga-bunga kecil yang melambangkan bintang dimalam hari.maknanya bahwa kehidupan manusia tidak lepas dari dua hal, seperti gelap terang, bungah susah, kaya miskin dan sebagainya.
• Motif Wirasat, artinya berupa pengharapan supaya dikabulkan semua
permohonannya dan bisa mencapai kedudukan yang tinggi serta bisa mandiri
terpenuhi secara materi. h. Motif Sido Asih, motif ini mempunyai harapan agar
mendapat perhatian dari sesama dan saling mengasihi. (soen)
Tambahan adanya mondolan di
blangkon Ngayogyakarta dibakukan oleh Hamengkubuwono VII, untuk
menyiasati rambut pria Jogja yang sebelumnya panjang mulai dipengaruhi budaya
barat dengan memotongnya pendek seperti kita sekarang. Jadi rambut yang sebelumnya
dimasukkan pada bagian belakang udheng/blangkon yang membuat adanya tonjolan
rambut pd belakang blangkon diganti dengan tonjolan mondolan.
Adaptasi ini tidak terjadi pada
blangkon gaya Solo sehingga pada blangkon Solo kempes di belakang.