PAKAIAN JAWA LURIK ATAU SURJAN
Pengertian
LURIK
Surjan Lurik
Nama motifnya diperoleh dari nama flora, fauna, atau dari sesuatu benda yang dianggap sakral. Motif lurik tradisional memiliki makna yang mengandung petuah, cita-cita, serta harapan kepada pemakainya. Namun demikian saat ini pengguna lurik semakin sedikit dibandingkan beberapa puluh tahun yang lalu. Perajinnya pun dari waktu ke waktu mulai menghilang.
Pengertian
LURIK
Lurik atau surjaan merupakan
nama kain, kata lurik sendiri berasal dari bahasa Jawa, lorek yang berarti
garis-garis, yang merupakan lambang kesederhanaan. Sederhana dalam penampilan
maupun dalam pembuatan namun sarat dengan makna (Djoemena, Nian S., 2000).
Selain berfungsi untuk menutup dan melindungi tubuh, lurik juga memiliki fungsi
sebagai status simbol dan fungsi ritual keagamaan. Motif lurik yang dipakai
oleh golongan bangsawan berbeda dengan yang digunakan oleh rakyat biasa, begitu
pula lurik yang dipakai dalam upacara adat disesuaikan dengan waktu serta
tujuannya.
Nama motifnya diperoleh dari nama flora, fauna, atau dari sesuatu benda yang dianggap sakral. Motif lurik tradisional memiliki makna yang mengandung petuah, cita-cita, serta harapan kepada pemakainya. Namun demikian saat ini pengguna lurik semakin sedikit dibandingkan beberapa puluh tahun yang lalu. Perajinnya pun dari waktu ke waktu mulai menghilang.
Lurik menurut Ensiklopedi
Nasional Indonesia (1997) adalah suatu kain hasil tenunan benang yang berasal
dari daerah Jawa Tengah dengan motif dasar garis-garis atau kotak-kotak dengan
warna-warna suram yang pada umumnya diselingi aneka warna benang. Kata lurik
berasal dari akar kata rik yang artinya garis atau parit yang dimaknai sebagai
pagar atau pelindung bagi pemakainya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1990), lurik adalah kain tenun yang memiliki corak jalur-jalur, sedangkan
dalam Kamus Lengkap Bahasa Jawa(Mangunsuwito:20 02) pengertian lurik adalah
corak lirik-lirik atau lorek-lorek, yang berarti garis-garis dalam bahasa
Indonesia.
Dan berbagai definisi yang
telah disebutkan di atas, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lurik
merupakan kain yang diperoleh melalui proses penenunan dari seutas benang
(lawe) yang diolah sedemikian rupa menjadi selembar kain katun. Proses yang
dimaksud yaitu diawali dari pembuatan benang tukel, tahap pencelupan yaitu
pencucian dan pewarnaan, pengelosan dan pemaletan, penghanian, pencucuk-an,
penyetelan, dan penenunan. Motif atau corak yang dihasilkan berupa garis-garis
vertikal maupun horisontal yang dijalin sedemikian rupa sesuai warna yang
dikehendaki dengan berbagai variasinya.
SURJAN
Surjan/sur•jan/ Jw. Adalah baju
laki-laki khas Jawa berkerah tegak; berlengan panjang, terbuat dari bahan lurik
atau cita berkembang Kata surjan merupakan bentuk tembung garba (gabungan dua
kata atau lebih, diringkas menjadi dua suku kata saja) yaitu dari kata
suraksa-janma (menjadi manusia). Surjan menurut salah satu makalah yang
diterbitkan oleh Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta berasal dari istilah siro +
jan yang berarti pelita atau yang memberi terang.
Dikatakan (pakaian)
surjan berasal dari zaman Mataram Islam awal. Pakaian adat pria ini
merupakan pakaian adat model Yogyakarta walaupun konon katannya Surjan
merupakan pakaian khas dari kerajaan Mataram sebelum terpecah menjadi dua,
Surakarta dan Yogyakarta. Surjan awalnya diciptakan oleh Sunan Kalijaga yang
diinspirasi oleh model pakaian pada waktu itu dan selanjutnya digunakan oleh
Mataram.
Surjan merupakan baju adat dari
keraton mataram yang dicipta oleh SUNAN KALIJAGA berdasar QS Al-A’raf 26: ’’Hai
anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup
auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa (dimaksud agar
selalu bertakwa kepada Allah SWT) itulah yang paling baik. Yang demikian itu
adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu
ingat.”
Oleh Sunan Kalijaga pengertian
ayat diatas dijadikan model pakaian rohani (takwa) agar si pemakai selalu ingat
kepada Allah SWT, kemudian oleh raja-raja Mataram pakaian takwa ini dipakai
hingga sekarang ini.
Pakaian takwa sering disebut
SURJAN (sirajan) yang berarti Pepadhang atau Pelita. Di dalam ajarannya HB I
bercita-cita agar pimpinan Negara dan Penggawa Kerajaan memiliki Jiwa dan Watak
SATRIYA, dimana tidak akan lepas dari sifat-sifat: Nyawiji, bertekad
golong-gilig baik berhubungan dengan Allah SWT maupun peraturan dengan sesama.
Sifat Greget (tegas bersemangat), Sengguh (percaya diri penuh jati /harga diri)
dan sifat Ora Mingkuh, tidak melepas tanggung jawab dan lari dari kewajiban.
Maka figur satriya Ngayogyakarta ideal yakni seseorang yang dilengkapi
pengageman Takwa seperti Nyawiji Greget Sengguh Ora Mingkuh.
Pakaian surjan dapat disebut
pakaian “takwa”, karena itu di dalam baju surjan terkandung makna-makna
filosofi, di antaranya: bagian leher baju surjan memiliki kancing 3 pasang (6
biji kancing) yang kesemuanya itu menggambarkan rukun iman. Rukun iman tersebut
adalah iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab, iman
kepada utusan Allah, iman kepada hari kiamat, iman kepada takdir. Selain
itu surjan juga memiliki dua buah kancing di bagian dada sebelah kiri dan
kanan. Hal itu adalah simbol dua kalimat syahadat yang
berbunyi,Ashaduallaillahaillalah dan Waashaduanna Muhammada rasulullah.
Disamping itu surjan memiliki tiga buah kancing di dalam (bagian dada dekat
perut) yang letaknya tertutup (tidak kelihatan) dari luar yang menggambarkan
tiga macam nafsu manusia yang harus diredam/dikendalikan/ditutup. Nafsu-nafsu
tersebut adalah nafsu bahimah (hewani), nafsu lauwamah (nafsu makan dan minum),
dan nafsu syaitoniah (nafsu setan). (K.R.T. Jatiningrat, 2008, Rasukan Takwa
lan Pranakan ing Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta: Tepas Dwarapura
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat).
Jadi jenis pakaian atau baju
ini bukan sekadar untuk fashion dan menutupi anggota tubuh supaya tidak
kedinginan dan kepanasan serta untuk kepantasan saja, namun di dalamnya memang
terkandung makna filosofi yang dalam.
Surjan sendiri terdapat dua
jenis yaitu surjan lurik dan surjan Ontrokusuma, dikatakan Surjan lurik karena
bermotif garis-garis, sedangkan Surjan Ontrokusuma karena bermotif bunga
(kusuma). Jenis dan motif kain yang digunakan untuk membuat surjan tersebut
bukan kain polos ataupun kain lurik buatan dalam negeri saja, namun untuk
surjan Ontrokusuma terbuat dari kain sutera bermotif hiasan berbagai macam
bunga.
Surjan ontrokusuma hanya khusus
sebagai pakaian para bangsawan Mataram, sedangkan pakaian seragam bagi aparat
kerajaan hingga prajurit, surjan seragamnya menggunakan bahan kain lurik dalam
negeri, dengan motif lurik (garis-garis lurus). Untuk membedakan jenjang
jabatan/kedudukan pemakainya, ditandai atau dibedakan dari besar-kecilnya motif
lurik, warna dasar kain lurik dan warna-warni luriknya. Semakin besar luriknya
berarti semakin tinggi jabatannya; atau semakin kecil luriknya berarti semakin
rendah jabatannya. Demikian pula warna dasar kain dan warna-warni luriknya akan
menunjukkan pangkat (derajat/martabat) sesuai gelar kebangsawanannya. Pakaian
Takwa ini di dalam Kraton hanya dipakai oleh Sri Sultan dan Pangeran Putra
Dalem. Sedang pakaian takwa untuk putri (Pengageman Janggan) dikenakan untuk
Para Abdi Dalem Putri dan Keparak Para Gusti dengan warna kain hitam.
Beberapa Macam Corak Lurik
Corak Surjan Telu Papat
Meskipun motif lurik ini hanya
berupa garisgaris, namun variasinya sangat banyak. Terdapat banyak ragam motif
kain lurik tradisional, seperti yang ditulis oleh Nian S.Djoemena (2000)
mengenai nama-nama corak, yaitu antara lain: corak klenting kuning, sodo
sakler, lasem, tuluh watu, lompong keli, kinanti, kembang telo, kembang mindi,
melati secontong, ketan ireng, ketan salak, dom ndlesep, loro-pat, kembang
bayam, jaran dawuk, kijing
miring, kunang sekebon, dan
sebagainya. Dalam Ensiklopedi Indonesia (1997) disebutkan pula beberapa motif
seperti ketan ireng, gadung mlati, tumenggungan, dan bribil. Dalam
perkembangannya muncul motif- motif lurik baru yaitu: yuyu sekandang, sulur
ringin, lintang kumelap, polos abang, polos putih, dan masih banyak lagi. Motif
yang paling mutahir adalah motif hujan gerimis, tenun ikat, dam mimi, dan
galer.
Dahulu macam ragam corak lurik
sangat banyak, tetapi sekarang banyak yang sudah terlupakan. Tidak semua orang
termasuk para perajin lurik yang ada sekarang ini tahu dan ingat motif apa saja
yang pernah ada, seperti yang dialami oleh Pak Dibyo. Saat ini perusahaan tenun
lurik seperti milik Bapak Dibyo Sumarto, yaitu perusahaan tenun lurik Kurnia
tidak membuat motif lurik seperti yang disebutkan di atas, karena peminatnya
tidak ada lagi. Motif-motif lurik yang sekarang dibuat lebih bervariasi,
disesuaikan dengan warna-warna yang sedang disukai atau sedang trend. Jadi,
motif atau corak lurik yang ia buat cenderung selalu berubah dan makin
berkembang. Beberapa motif disesuaikan dengan yang dikehendaki oleh para
pembeli. Begitu pula dengan perusahaan tenun lurik yang dikelola oleh Ibu Nur.
Beliau bahkan tidak banyak membuat motif tenun jika tidak ada pesanan. Beberapa
kain lurik ia buat saat ini lebih banyak untuk seragam sekolah dan selendang.
Begitu pula dengan perusahaan tenun Kurnia yang lebih banyak mendapatkan
pesanan dari sekolah-sekolah yang membutuhkan seragam. Selain itu pembelinya
kebanyakan dari siswa sekolah yang sedang praktek tata busana.
Namun demikian, perusahaan
tenun ini masih membuat beberapa kain lurik tradisional yang masih dipakai dari
jaman dulu hingga sekarang, yaitu yang dipakai di lingkungan keraton seperti
yang dikenakan oleh para abdi dalem dan para prajuritnya. Motif yang dipakai
para abdi dalem kerajaan tersebut dinamakan corak telu-pat atau tiga empat
dalam bahasa Indonesia. Pakaian dengan motif ini dinamakan baju peranakan. Baju
ini dikenakan oleh mereka ketika sowan atau caos (menghadap raja).
lain kluwung, gedog madu, sulur
ringin, atau tuluh watu. Selain itu, ada pula motif lurik lain yang juga hanya
digunakan oleh orang-orang tertentu pada waktu tertentu pula, yaitu yang
dikenakan oleh abdi dalem dan para punggawa keraton. Ketika menghadiri
pisowanan (mengahadap raja), para abdi dalem memakai baju peranakan dengan
motif telu pat, sedangkan para prajurit keraton masingmasing juga memakai motif
lurik yang telah ditentukan. Prajurit Jogokaryan memakai motif Jogokaryo,
prajurit Mantrijeronmemakai motif mantrijero, begitu pula dengan prajurit
Patangpuluhan memakai motif patangpuluh. Seperti yang diutarakan oleh Pak Dibyo
bahwa "Motif keraton memang memiliki corak tersendiri. Ada yang
me-namakannya lurik tiga empat, untuk para abdi dalem. Nama motifnya yaitu tiga
empat, untuk per-anakan...prajurit keraton antara lain mantrijero, jogo-karyo,
patangpuluh. Motifnya sendiri-sendiri. Motif untuk abdi dalem untuk caos atau
sowan yaitu motif tiga empat." Motif lurik untuk prajurit kraton lainnya
adalah motif ketanggung yaitu yang dikenakan oleh prajurit Ketanggungan.
Mengenai motif yang tidak boleh dipakai oleh setiap orang dikatakan oleh Ibu Nur,
"Ya seperti yang dipakai oleh para abdi dalem, peranakan, hanya dipakai
oleh kalangan keraton. Tidak bisa dipakai umum."
Namun saat ini, menurut apa
yang dituturkan oleh Pak Dibyo, bahwa para pembeli bebas memilih motif mana
yang dikehendaki. Pembeli boleh memakai kain lurik dengan berbagai macam corak,
entah itu yang semestinya di pakai untuk sowan atau caos, ataupun yang
digunakan untuk prajurit keraton. Untuk saat ini, biasanya motif lurik yang
tidak boleh dikenakan atau dijual untuk umum yaitu yang dipakai untuk seragam
sekolah, karena motif tersebut sudah merupakan identitas atau ciri khas sekolah
yang bersangkutan.
Sumber : Djoemena, Nian S.,
2000; Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997); Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1990); Kamus Lengkap Bahasa Jawa(Mangunsuwito:20 02); K.R.T. Jatiningrat,
2008, Rasukan Takwa lan Pranakan ing Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat,
Yogyakarta: Tepas Dwarapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.)
No comments:
Post a Comment