Showing posts with label PENJAHIT BUSANA JAWA. Show all posts
Showing posts with label PENJAHIT BUSANA JAWA. Show all posts

Friday, March 22, 2019

PAKAIAN JAWA LURIK ATAU SURJAN

PAKAIAN JAWA LURIK ATAU SURJAN
Pengertian

LURIK
Lurik atau surjaan merupakan nama kain, kata lurik sendiri berasal dari bahasa Jawa, lorek yang berarti garis-garis, yang merupakan lambang kesederhanaan. Sederhana dalam penampilan maupun dalam pembuatan namun sarat dengan makna (Djoemena, Nian S., 2000). Selain berfungsi untuk menutup dan melindungi tubuh, lurik juga memiliki fungsi sebagai status simbol dan fungsi ritual keagamaan. Motif lurik yang dipakai oleh golongan bangsawan berbeda dengan yang digunakan oleh rakyat biasa, begitu pula lurik yang dipakai dalam upacara adat disesuaikan dengan waktu serta tujuannya.


Surjan Lurik



Nama motifnya diperoleh dari nama flora, fauna, atau dari sesuatu benda yang dianggap sakral. Motif lurik tradisional memiliki makna yang mengandung petuah, cita-cita, serta harapan kepada pemakainya. Namun demikian saat ini pengguna lurik semakin sedikit dibandingkan beberapa puluh tahun yang lalu. Perajinnya pun dari waktu ke waktu mulai menghilang.

Lurik menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) adalah suatu kain hasil tenunan benang yang berasal dari daerah Jawa Tengah dengan motif dasar garis-garis atau kotak-kotak dengan warna-warna suram yang pada umumnya diselingi aneka warna benang. Kata lurik berasal dari akar kata rik yang artinya garis atau parit yang dimaknai sebagai pagar atau pelindung bagi pemakainya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), lurik adalah kain tenun yang memiliki corak jalur-jalur, sedangkan dalam Kamus Lengkap Bahasa Jawa(Mangunsuwito:20 02) pengertian lurik adalah corak lirik-lirik atau lorek-lorek, yang berarti garis-garis dalam bahasa Indonesia.

Dan berbagai definisi yang telah disebutkan di atas, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lurik merupakan kain yang diperoleh melalui proses penenunan dari seutas benang (lawe) yang diolah sedemikian rupa menjadi selembar kain katun. Proses yang dimaksud yaitu diawali dari pembuatan benang tukel, tahap pencelupan yaitu pencucian dan pewarnaan, pengelosan dan pemaletan, penghanian, pencucuk-an, penyetelan, dan penenunan. Motif atau corak yang dihasilkan berupa garis-garis vertikal maupun horisontal yang dijalin sedemikian rupa sesuai warna yang dikehendaki dengan berbagai variasinya.

SURJAN
Surjan/sur•jan/ Jw. Adalah baju laki-laki khas Jawa berkerah tegak; berlengan panjang, terbuat dari bahan lurik atau cita berkembang Kata surjan merupakan bentuk tembung garba (gabungan dua kata atau lebih, diringkas menjadi dua suku kata saja) yaitu dari kata suraksa-janma (menjadi manusia). Surjan menurut salah satu makalah yang diterbitkan oleh Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta berasal dari istilah siro + jan yang berarti pelita atau yang memberi terang.






Dikatakan (pakaian) surjan  berasal dari zaman Mataram Islam awal. Pakaian adat pria ini merupakan pakaian adat model Yogyakarta walaupun konon katannya Surjan merupakan pakaian khas dari kerajaan Mataram sebelum terpecah menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta. Surjan awalnya diciptakan oleh Sunan Kalijaga yang diinspirasi oleh model pakaian pada waktu itu dan selanjutnya digunakan oleh Mataram.

Surjan merupakan baju adat dari keraton mataram yang dicipta oleh SUNAN KALIJAGA berdasar QS Al-A’raf 26: ’’Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa (dimaksud agar selalu bertakwa kepada Allah SWT) itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.”
Oleh Sunan Kalijaga pengertian ayat diatas dijadikan model pakaian rohani (takwa) agar si pemakai selalu ingat kepada Allah SWT, kemudian oleh raja-raja Mataram pakaian takwa ini dipakai hingga sekarang ini.

Pakaian takwa sering disebut SURJAN (sirajan) yang berarti Pepadhang atau Pelita. Di dalam ajarannya HB I bercita-cita agar pimpinan Negara dan Penggawa Kerajaan memiliki Jiwa dan Watak SATRIYA, dimana tidak akan lepas dari sifat-sifat: Nyawiji, bertekad golong-gilig baik berhubungan dengan Allah SWT maupun peraturan dengan sesama. Sifat Greget (tegas bersemangat), Sengguh (percaya diri penuh jati /harga diri) dan sifat Ora Mingkuh, tidak melepas tanggung jawab dan lari dari kewajiban. Maka figur satriya Ngayogyakarta ideal yakni seseorang yang dilengkapi pengageman Takwa seperti Nyawiji Greget Sengguh Ora Mingkuh.

Pakaian surjan dapat disebut pakaian “takwa”, karena itu di dalam  baju surjan terkandung makna-makna filosofi, di antaranya: bagian leher baju surjan memiliki kancing 3 pasang (6 biji kancing) yang kesemuanya itu menggambarkan rukun iman. Rukun iman tersebut adalah iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab, iman kepada utusan Allah, iman kepada hari kiamat, iman kepada takdir.  Selain itu surjan juga memiliki dua buah kancing di bagian dada sebelah kiri dan kanan. Hal itu adalah simbol dua kalimat syahadat yang berbunyi,Ashaduallaillahaillalah dan Waashaduanna Muhammada rasulullah. Disamping itu surjan memiliki tiga buah kancing di dalam (bagian dada dekat perut) yang letaknya tertutup (tidak kelihatan) dari luar yang menggambarkan tiga macam nafsu manusia yang harus diredam/dikendalikan/ditutup. Nafsu-nafsu tersebut adalah nafsu bahimah (hewani), nafsu lauwamah (nafsu makan dan minum), dan nafsu syaitoniah (nafsu setan). (K.R.T. Jatiningrat, 2008, Rasukan Takwa lan Pranakan ing Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta: Tepas Dwarapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat).
Jadi jenis pakaian atau baju ini bukan sekadar untuk fashion dan menutupi anggota tubuh supaya tidak kedinginan dan kepanasan serta untuk kepantasan saja, namun di dalamnya memang terkandung makna filosofi yang dalam.

Surjan sendiri terdapat dua jenis yaitu surjan lurik dan surjan Ontrokusuma, dikatakan Surjan lurik karena bermotif garis-garis, sedangkan Surjan Ontrokusuma karena bermotif bunga (kusuma). Jenis dan motif kain yang digunakan untuk membuat surjan tersebut bukan kain polos ataupun kain lurik buatan dalam negeri saja, namun untuk surjan Ontrokusuma terbuat dari kain sutera bermotif hiasan berbagai macam bunga.

Surjan ontrokusuma hanya khusus sebagai pakaian para bangsawan Mataram, sedangkan pakaian seragam bagi aparat kerajaan hingga prajurit, surjan seragamnya menggunakan bahan kain lurik dalam negeri, dengan motif lurik (garis-garis lurus). Untuk membedakan jenjang jabatan/kedudukan pemakainya, ditandai atau dibedakan dari besar-kecilnya motif lurik, warna dasar kain lurik dan warna-warni luriknya. Semakin besar luriknya berarti semakin tinggi jabatannya; atau semakin kecil luriknya berarti semakin rendah jabatannya. Demikian pula warna dasar kain dan warna-warni luriknya akan menunjukkan pangkat (derajat/martabat) sesuai gelar kebangsawanannya. Pakaian Takwa ini di dalam Kraton hanya dipakai oleh Sri Sultan dan Pangeran Putra Dalem. Sedang pakaian takwa untuk putri (Pengageman Janggan) dikenakan untuk Para Abdi Dalem Putri dan Keparak Para Gusti dengan warna kain hitam.

Beberapa Macam Corak Lurik





Corak Surjan Telu Papat


Meskipun motif lurik ini hanya berupa garisgaris, namun variasinya sangat banyak. Terdapat banyak ragam motif kain lurik tradisional, seperti yang ditulis oleh Nian S.Djoemena (2000) mengenai nama-nama corak, yaitu antara lain: corak klenting kuning, sodo sakler, lasem, tuluh watu, lompong keli, kinanti, kembang telo, kembang mindi, melati secontong, ketan ireng, ketan salak, dom ndlesep, loro-pat, kembang bayam, jaran dawuk, kijing
miring, kunang sekebon, dan sebagainya. Dalam Ensiklopedi Indonesia (1997) disebutkan pula beberapa motif seperti ketan ireng, gadung mlati, tumenggungan, dan bribil. Dalam perkembangannya muncul motif- motif lurik baru yaitu: yuyu sekandang, sulur ringin, lintang kumelap, polos abang, polos putih, dan masih banyak lagi. Motif yang paling mutahir adalah motif hujan gerimis, tenun ikat, dam mimi, dan galer.

Dahulu macam ragam corak lurik sangat banyak, tetapi sekarang banyak yang sudah terlupakan. Tidak semua orang termasuk para perajin lurik yang ada sekarang ini tahu dan ingat motif apa saja yang pernah ada, seperti yang dialami oleh Pak Dibyo. Saat ini perusahaan tenun lurik seperti milik Bapak Dibyo Sumarto, yaitu perusahaan tenun lurik Kurnia tidak membuat motif lurik seperti yang disebutkan di atas, karena peminatnya tidak ada lagi. Motif-motif lurik yang sekarang dibuat lebih bervariasi, disesuaikan dengan warna-warna yang sedang disukai atau sedang trend. Jadi, motif atau corak lurik yang ia buat cenderung selalu berubah dan makin berkembang. Beberapa motif disesuaikan dengan yang dikehendaki oleh para pembeli. Begitu pula dengan perusahaan tenun lurik yang dikelola oleh Ibu Nur. Beliau bahkan tidak banyak membuat motif tenun jika tidak ada pesanan. Beberapa kain lurik ia buat saat ini lebih banyak untuk seragam sekolah dan selendang. Begitu pula dengan perusahaan tenun Kurnia yang lebih banyak mendapatkan pesanan dari sekolah-sekolah yang membutuhkan seragam. Selain itu pembelinya kebanyakan dari siswa sekolah yang sedang praktek tata busana.

Namun demikian, perusahaan tenun ini masih membuat beberapa kain lurik tradisional yang masih dipakai dari jaman dulu hingga sekarang, yaitu yang dipakai di lingkungan keraton seperti yang dikenakan oleh para abdi dalem dan para prajuritnya. Motif yang dipakai para abdi dalem kerajaan tersebut dinamakan corak telu-pat atau tiga empat dalam bahasa Indonesia. Pakaian dengan motif ini dinamakan baju peranakan. Baju ini dikenakan oleh mereka ketika sowan atau caos (menghadap raja).

lain kluwung, gedog madu, sulur ringin, atau tuluh watu. Selain itu, ada pula motif lurik lain yang juga hanya digunakan oleh orang-orang tertentu pada waktu tertentu pula, yaitu yang dikenakan oleh abdi dalem dan para punggawa keraton. Ketika menghadiri pisowanan (mengahadap raja), para abdi dalem memakai baju peranakan dengan motif telu pat, sedangkan para prajurit keraton masingmasing juga memakai motif lurik yang telah ditentukan. Prajurit Jogokaryan memakai motif Jogokaryo, prajurit Mantrijeronmemakai motif mantrijero, begitu pula dengan prajurit Patangpuluhan memakai motif patangpuluh. Seperti yang diutarakan oleh Pak Dibyo bahwa "Motif keraton memang memiliki corak tersendiri. Ada yang me-namakannya lurik tiga empat, untuk para abdi dalem. Nama motifnya yaitu tiga empat, untuk per-anakan...prajurit keraton antara lain mantrijero, jogo-karyo, patangpuluh. Motifnya sendiri-sendiri. Motif untuk abdi dalem untuk caos atau sowan yaitu motif tiga empat." Motif lurik untuk prajurit kraton lainnya adalah motif ketanggung yaitu yang dikenakan oleh prajurit Ketanggungan. Mengenai motif yang tidak boleh dipakai oleh setiap orang dikatakan oleh Ibu Nur, "Ya seperti yang dipakai oleh para abdi dalem, peranakan, hanya dipakai oleh kalangan keraton. Tidak bisa dipakai umum."
Namun saat ini, menurut apa yang dituturkan oleh Pak Dibyo, bahwa para pembeli bebas memilih motif mana yang dikehendaki. Pembeli boleh memakai kain lurik dengan berbagai macam corak, entah itu yang semestinya di pakai untuk sowan atau caos, ataupun yang digunakan untuk prajurit keraton. Untuk saat ini, biasanya motif lurik yang tidak boleh dikenakan atau dijual untuk umum yaitu yang dipakai untuk seragam sekolah, karena motif tersebut sudah merupakan identitas atau ciri khas sekolah yang bersangkutan.

Sumber : Djoemena, Nian S., 2000; Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997);  Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990); Kamus Lengkap Bahasa Jawa(Mangunsuwito:20 02); K.R.T. Jatiningrat, 2008, Rasukan Takwa lan Pranakan ing Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta: Tepas Dwarapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.)

Saturday, March 16, 2019

Motif Batik Jogjakarta beserta makna dan filosofinya

Motif Batik Jogjakarta beserta makna dan filosofinya


Motif Batik Tradisional sudah dikenal sejak jaman dahulu kala di tanah Jawa sebagai kekayaan seni budaya yang tiada ternilai harganya. Sejarah perkembangan batik di Jawa erat kaitannya dengan perkembangan motif batik di Jawa Tengah. Seni batik Yogyakarta adalah bagian dari sejarah perkembangan batik di Jawa Tengah yang telah berpadu dengan aneka ragam corak atau motif dari daerah lain.

Perjalanan sejarah Batik Yogya erat kaitannya dengan perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Ketika Kerajaan Mataram terbelah menjadi dua, dan berdirilah kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, busana kerajaan Mataram dibawa dari Surakarta atau Solo ke Ngayogyakarta, maka Sri Susuhunan Pakubuwana II membuat rancangan busana baru dan busana adat kraton Surakarta berbeda dengan busana adat Yogya. Perjanjian ini terjadi di desa Giyanti, yang hasilnya antara lain wilayah Mataram dibagi dua, yaitu wilayah Surakarta Hadiningrat dibawah kekuasaan Sri Paduka Susuhunan Pakubuwana II, dan wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat dibawah kekuasaan Kanjeng Pangeran Mangkubumi yang bergelar Ngersa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Ngalaga Ngabdul Rachman Sayyidin Panatagama Kalifatullah ingkang jumeneng kaping I.

Semua benda kraton dibagi dua, busana Mataraman di bawa ke Ngayoyakarta Hadiningrat, karena Kanjeng Pangeran Mangkubumi ingin melestarikannya. Karena itu Surakarta Hadiningrat yang dibawah kekuasaan Sri Paduka Pakubuwana III merancang busana baru yang menjadi busana adat kraton Surakarta sebagaimana yang masih bisa kita lihat hingga saat ini.

Ciri khas motif batik Yogyakarta : ada dua macam warna dasar kain, yaitu putih dan hitam, biru tua kehitaman dan coklat soga. Pinggiran kain putih, diupayakan tidak pecah hingga kemasukan soga, baik kain berwarna dasar putih atau hitam. Secara garis besar ada 3 sifat motifnya,
  • Geometris  : garis miring / lereng atau lerek, garis silang atau kawung dan ceplok, anyaman dan limaran.
  • Non Geometris : semen (lunglungan dan boketan).
  • Simbolis : erat kaitannya dengan filosofi Hindu-Jawa, diantaranya "Sawat" melambangkan kekuasaan yang tinggi atau mahkota; "Meru" melambangkan gunung atau bumi; "Naga" melambangkan air; "Burung" melambangkan dunia atas atau angin; "Lidah api" melambangkan semangat yang menyala.

Setiap Sultan yang bertahta berhak membuat peraturan tentang tata busana. Terakhir Sri Paduka Sultan Hamengku Buwana VIII membuat peraturan tata busana baru yang berjudul "Pranatan dalem bab namanipun pengagem keprabon ing Nagari Ngayogyakartga Hadiningrat" yang dimuat dalam Rijksblad van Djojakarta No. 19, tahun 1927. Yang dimaksud Pangagem Keprabon atau busana keprabon ialah : bebet prajuritan, bebet nyamping (kain panjang), celana serta glisire (celana cindhe, sutra, beludru, katun dan gelisirnya), songsong atau payung. Motif Batik yang dipakai : Parang rusak (parang rusak barong dan parang rusak gendreh)

Semua putra dalem diijinkan memakai motif batik tersebut di atas. Motif batik untuk Permaisuri diijinkan sama dengan raja. Garwa ampeyan dalem diperbolehkan mengenakan motif parang rusak gendreh ke bawah. Garwa Padmi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati sama dengan suaminya. Garwa Ampeyan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati diijinkan mengenakan motif parang rusak gendreh ke bawah. Demikian pula dengan putra Kanjeng Gusti Pangeran Adipati. Istri para Pangeran Putra, Pangeran Putra Raja yang terdahulu/"Pangeran Putra Sentaning Panjenengan Dalem Nata" sama dengan suaminya. "Garwa Ampeyan" para Pangeran diijinkan memakai motif "parang rusak gendreh" ke bawah. Wayah dalem atau cucu raja diperbolehkan memakai motif parang rusak gendreh ke bawah. Pun demikian untuk Buyut dalem atau cicit raja dan canggah dalem (putranya cicit raja). Wareng dalem (Putranya canggah raja) ke bawah diijinkan memakai motif batik parang-parangan dan harus selang-seling, tidak boeh keseluruhan.
Patih dalem (Patih Raja) diperbolehkan mengenakan motif "parang rusak barong" ke bawah. Abdi dalem : Wedana Ageng Prajurit, Pengulu Hakim dan Bupati Nayaka nJawi lan Lebet diperbolehkan meemakai motif parang rusak gendreh ke bawah. Bupati Patih Kadipaten dan Bupati Polisi mengenakan motif sama dengan Abdi Dalem di atas. Bupati Anom, Riya Bupati Anom, Penghulu Landrad, Keparak para Gusti (Nyai Riya) mengenakan motif parang gendreh ke bawah.

Berkembangnya teknologi batik hingga menjadi sebuah trend fashion pada segala kalangan usia hingga beragam latar belakang sosial ekonomi dan profesi, semakin meluasnya motif batik moderen. Trend motif batik semakin bebas desainnya mengikuti selera konsumen, Motif Batik Yogya banyak menginspirasi terciptanya pembauran antar motif batik di nusantara ini yang memperkaya motif batik dan semakin menambah nilai eksotik yang mengagumkan.

Berikut kami sajikan aneka ragam motif Batik Jogjakarta yang populer beserta makna filosofinya :

Motif Sekar Jagad
Sekar berarti bunga, jagad berarti dunia. Motif sekar jagad bermakna keanekaragaman bunga di seluruh penjuru dunia yang sangat indah. Motif ini digunakan orang tua mempelai pengantin pada resepsi atau upacara pernikahan agar hatinya berbunga-bunga riang gembira




Motif Semen Gurdo
Motif ini digunakan sebagai busana pesta dan busana daerah dengan makna filosofis agar si pemakai memperoleh berkah dan nampak berwibawa



Motif Semen Gurdo
Motif ini digunakan sebagai busana pesta dan busana daerah dengan makna filosofis agar si pemakai memperoleh berkah dan nampak berwibawa



Motif Sido Asih
Motif ini termasuk motif bebas, bukan motif untuk acara-acara khusus. Makna filosofisnya  agar si pemakai disenangi banyak orang





Motif Truntum Srikuncoro
Sebagai busana adat oleh orang tua pengantin saat temu mempelai pengantin. Makna filosofisnya "Truntum" artinya menuntun, sebagai orang tua wajib untuk menuntun kedua mempelai agar teguh dan mencapai kesejahteraan dalam mengarungi hidup baru yang penuh liku-liku.





Itulah penjelasan secara global tentang motif batik Jogjakarta beserta makna filosofinya. Semoga pembahasan singkat ini berguna bagi pembaca semua untuk semakin mencintai kebudayaan kita yang adiluhung dan kaya makna ini. Silakan menikmati pembahasan kami tentang batik yang lainnya, Terimakasih atas kehadiran Anda.




Friday, March 15, 2019

Makna Tersirat Dalam Pakaian Adat Jawa

Makna Tersirat Dalam Pakaian Adat Jawa

Makna Tersirat Dalam Pakaian Adat Jawa – Banyak yang menyebut pakaian tradisional adat Jawa dengan busana kejawen. Seperti yang kita tahu bahwa kebudayaan jawa sangat kental dengan simbol-simbol tersembunyi. Hampir setiap hal dalam masyarakat Jawa selalu diciptakan dengan mempunyai perlambang tertentu bagi orang Jawa. Hal tersebut juga berlaku pada busana Jawa yang penuh dengan piwulang sinandhi (ajaran tersamar) kaya akan ajaran dan tutunan hidup Jawa. Dalam busana Jawa ini tersembunyi ajaran dan tuntunan untuk melakukan segala sesuatu di dunia ini secara harmoni. Masyarakat Jawa sangat mengedepankan keseimbangan, hal ini berlaku pada hal apa pun dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam hubungannya dengan sesama manusia, diri sendiri maupun Tuhan Yang Maha Kuasa Pencipta segalanya.



Pakaian tradisional adat Jawa yang dikenakan pada bagian kepala adalah iket dan udheng; dibagian tubuh ada rasukan (baju); jarik, sabuk, epek, dan timang dibagian belakang tubuh yakni keris dan dikenakan dibagian bawah atau bagian kaki yaitu canela.

Pakaian Bagian Atas

Pada bagian kepala biasanya orang Jawa kuna (tradisional) mengenakan ‘iket’ yaitu ikat kepala yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi penutup kepala. Cara mengenakan iket harus kuat supaya ikatan tidak mudah terlepas. Makna iket dimaksudkan manusia sepantasnya mempunyai pemikiran yang kenceng, dalam artian tidak mudah terombang-ambing hanya karena situasi atau orang lain tanpa pertimbangan yang matang.
Selanjutnya udheng, penggunaannya hampir sama dengan iket, dikenakan di bagian kepala dengan cara mengenakan seperti mengenakan sebuah topi. Jika sudah dikenakan di atas kepala, iket dan udheng sulit dibedakan karena ujud dan fungsinya sama. Udheng berasal dari kata kerja Mudheng atau mengerti dengan jelas. Maksudnya agar manusia mempunyai pemikiran yang kukuh, mengerti dan memahami tujuan hidup dan kehidupan. Selain itu udheng juga mempunyai arti bahwa manusia harus punya keterampilan untuk menjalankan pekerjaannya dengan dasar pengetahuan yang mantap.


Busana kejawen seperti beskap selalu dilengkapi dengan benik (kancing baju) disebelah kiri dan kanan. Lambang yang tersirat dalam benik adalah agar seseorang dalam melakukan tindakan apapun selalu (diniknik) diperhitungkan dengan cermat. Apapun yang dilakukan hendaklah jangan sampai merugikan orang lain. Selalu menjaga antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Sabuk (ikat pinggang) dikenakan dengan cara dilingkarkan (diubetkan) ke badan. Hal ini melambangkan harus bersedia untuk tekun berkarya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itulah manusia harus selalu ubed (bekerja dengan sungguh-sungguh) dan jangan sampai kerjanya tanpa ada hasil atau buk (impas/tidak ada keuntungan). Kata sabuk berarti usahakanlah agar segala yang dilakukan tidak ngebukne. Jadi harus ubed atau gigih.


Epek mengandung arti bahwa untuk dapat bekerja dengan baik, kita harus epek (apek dan golek) mencari pengetahuan yang berguna. Selama menempuh ilmu upayakan untuk tekun, teliti, dan cermat agar memahaminya dengan jelas. Timang memiliki makna apabila ilmu yang didapat harus dipahami dengan jelas atau gamblang. Tidak akan ada rasa samang (khawatir). Jarik adalah kain yang dikenakan untuk menutup tubuh dari pinggang sampai mata kaki. Jarik bermakna aja gampang serik (jangan mudah iri terhadap orang lain). Wiru Jarik atau kain yang dikenakan selalu dengan cara mewiru (melipat) pinggiran yang vertikal satu sisi saja sedemikian rupa. Wiru atau wiron diperoleh dengan cara melipat-lipat (mewiru). Ini mengandung pengertian bahwa jarik tidak bisa lepas dari wiru, mengandung arti wiwiren aja nganti kleru atau kerjakan segala hal jangan sampai keliru, supaya kita bisa menumbuhkan suasana yang menyenangkan dan harmonis. Bebed adalah kain (jarik) yang dikenakan oleh laki-laki seperti halnya pada perempuan, bebed artinya manusia harus ubed, rajin bekerja, berhati-hati terhadap segala hal yang dilakukan dan bekerja sepanjang hari (tumindak nggubed ing rina wengi)

Canela mempunyai arti ‘canthelna jroning nala’ peganglah kuat dalam hatimu. Canela sama artinya selop atau sandal. Canela selalu dikenakan di kaki, artinya dalam menyembah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, hendaklah dari lahir sampai batin sujud. Dalam hati hanyalah sumeleh (pasrah) kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
Curiga lan warangka

Curiga atau keris berujud wilahan yang terdapat dalam warangka atau tempatnya. Curiga dikenakan di bagian belakang badan. Keris ini mempunyai makna bahwa keris sekaligus warangka sebagaimana manusia sebagai ciptaan dan penciptanya Allah Yang Maha Kuasa, representasi dari konsep manunggaling kawula Gusti. Berdasarkan letaknya, keris mempunyai makna bahwa hubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa hendaknya tidak dipertunjukkan.

Tuesday, March 12, 2019

Busana Adat Jawa Dan Maknannya

Surjan bagi orang Jawa merupakan salah satu model pakaian adat yang penuh filosofis kehidupan. Surjan merupakan bebusana adat Jawa atau orang bilang busana kejawen penuh dengan piwulang sinandhi,kaya akan suatu ajaran tersirat yang terkait dengan filosofi Jawa ( Kejawen ).



Ajaran dalam busana kejawen ini merupakan ajaran untuk melakukan segala sesuatu di dunia ini secara harmoni yang berkaitan dengan aktifitas sehari -hari,baik dalam hubungannya dengan sesama manusia,dengan diri sendiri,maupun dengan Tuhan Yang Maha Kuasa pencipta segala sesuatu dimuka bumi ini. dan khusus untuk pakaian adat pria ini kurang lebih terdiri dari Blangkon,Surjan/beskap,Keris,Kain Jarik (Kain Samping),sabuk sindur dan canela/cemila/selop.

Penggunaan pakaian adat yang sekarang ini sudah jarang dilakukan atau hanya sekedar dipakai pada saat ada hajatan saja, berakibat pengetahuan tentang tata cara pemakaian pakaian adat menjadi semakin minim. Terlebih lagi kebanyakan dari masyarakat sudah jarang yang memiliki sendiri seperangkat pakaian adat.

Blangkon 



Blangkon adalah tutup kepala yang dibuat  dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa

Sebutan Blangkon berasal dari kata blangko,istilah yang dipakai masyarakat Jawa untuk mengatakan sesuatu yang siap pakai. Dulunya blangkon tidak berbentuk buat dan siap pakai,melainkan sama seperti ikat kepala lainnya yakni melalui proses pengikatan yang cukup rumit. Seiring berjalannya waktu, maka terciptanya inovasi untuk membuat ikat kepala siap pakai yang selanjutnya dijuluki  sebagai blangkon.

Blangkon sebenarnya bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagian dari pakaian tradisional Jawa. Untuk beberapa tipe blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon yang disebut mondholan. Mondholan ini menandakan model rambut pria masa itu yang seiring mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon.Lilitan rambut itu harus kencang supaya tidak mudah lepas.
Sehingga lilitan rambut panjang yang menjadi mondholan sudah dimodifikasi karena orang sekarang kebanyakan berambut pendek dengan membuat mondholan yang dijahit langsung pada bagian belakang blangkon. Blangkon Surakarta mondholannya trepes atau gepeng sedaang mondholan gaya Yogyakarta berbentuk bulat seperti ondel-ondel.


Surjan 


Surjan /sur.jan/Jw. adalah baju laki-laki khas Jawa berkerah tegak;berlengan panjang,terbuat dari lurik atau cita berkembang Kata surjan merupakan bentuk tembung garba (gabungan dua kata atau lebih, diringkas menjadi dua suku kata saja) yaitu dari kata suraksa-janma (menjadi manusia).Surjan menurut salah satu makalah yang diterbitkan oleh Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta berasal dari istilah siro + jan yang berarti pelita atau yang memberi terang.

Dikatakan (pakaian) surjan berasal dari zaman Mataram Islam awal. Pakaian adat pria ini merupakan pakaian adat model Yogyakarta walaupun konon katannya Surjan merupakan pakaian khas dari kerajaan Mataram sebelum terpecah menjadi dua,Surakarta dan Yogyakarta.Surjan awalnya diciptakan oleh Sunan Kalijaga yang diinspirasi oleh model pakaian pada waktu itu dan selanjutnya digunakan oleh Mataram.

Pakaian surjan dapat disebut pakaian "takwa" , karena itu di dalam baju surjan terkandung makna -makna filosofi,diantarannya: bagian leher baju surjan memiliki kancing 3 pasang (6 biji kancing) yang kesemuannya itu menggambarkan rukun iman.Rukun iman tersebut adalah iman kepada Allah,iman kepada malaikat,iman kepada kitab-kitab,iman kepada utusan Allah,iman kepada hari kiamat,iman kepada takdir .Selain itu surjan juga memiliki dua buah kancing di bagian dada sebelah kiri dan kanan.Hal itu adalah simbol dua kalimat syahadat yang berbunyi,ashaduallaillahaillalah dan Waashaduanna Muhammada rasullah.Disamping itu surjan memiliki tiga buah kancing didalam (bagian dada dekat perut) yang letaknya tertutup (Tidak kelihatan) dari luar yang menggambarkan tiga macam nafsu manusia yang harus diredam /dikendalikan/ditutu.Nafsu-nafsu tersebut adalah nafsu bahimah (hewani).Nafsu Lauwamah (Nafsu Makan makan dan minum) dan Nafsu Syaitoniah (nafsu setan).(K.R.T.Jatiningrat 2008.Rasukan Taqwa lan Pranakan ing Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat,Yogyakarta ; Terlepas Dwarapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.)
Jadi jenis pakaian atau baju bukan sekedar untuk fashion dan menutupi anggota tubuh supaya tidak kedinginan dan kepanasan serta untuk kepantasan saja,namun didalamnya memang terkandung makna filosofi yang dalam.
Surjan sendiri terdapat dua jenis yaitu surjan lurik dan surjan Ontrokusuma,dikatakan surjan lurik karena motif garis-garis,sedangkan surjan ontrokusuma karena bermotif bunga (kusuma).Jenis dan motif kain yang digunakan untuk membuat surjan tersebut bukan kain polos ataupun kain lurik buatan dalam negeri saja,namun untuk surjan Ontrokusuma tersebut dari kain sutera bermotif hiasan berbagai macam bunga.

Surjan otrokusuma hanya khusus sebagai pakaian para bangsawan Mataram,sedangkan pakaian seragam bagi aparat kerajinan hingga prajurit,surjan seragamnya menggunakan bahan kain lurik dalam negeri,dengan motif lurik (garis-garis lurus).Untuk membedakan jenjang jabatan/kedudukan pemakainya,ditandai atau dibedakan dari besar-kecilnya motif lurik,warna dasar kain lurik dan warna-warni luriknya.Semakin besar luriknya berarti semakin tinggi jabatannya;atau semakin kecil luriknya berarti semakin rendah jabatannya.Demikian pula warna dasar kain dan warna-warni luriknya akan menunjukkan pangkat (derajat/martabat)sesuai gelar kebangsawanannya.

Pemakaian Surjan ini dikombinasikan dengan tutup kepala atau Blangkon dengan "mondolan" di belakangnya.Dahulu pada jaman kerajaan mondolan ini difungsikan untuk menyimpan rambut pria yang panjang biar kelihatan rapi.


Beskap



Beskap merupakan pakaian adat gaya Surakarta,bentuknyanseperti jas didesain sendiri oleh orang Belanda yang berasal dari kata beschaafd yang berarti civilized atau berkebudayaan. Warna yang lazim dari beskap biasanya hitam,walaupun warna lain seperti putih atau coklat juga tidak jarang digunakan. Selain beskap,ada lagi pakaian adat pria gaya Surakarta ini yaitu Atela.Perbedaan antara keduanya yang mudah dilihat dari pemsangan kancing baju.Pada beskap,kancing baju terpasang di kanan dan kiri,sementara pada atela,kancing baju terpasang di tegah dari kerah leher ke bawah.

Beskap adalah sejenis kemeja pria resmi dalam tradisi Jawa Mataram untuk dikenakan pada acara-acara resmi atau penting.Busana atasan ini diperkenalkan pada akhir abad ke-18 oleh kalangan kerajaan-kerajaan di wilayah Vorstenlanden namun kemudian menyebar ke berbagai wilayah pengaruh budayanya.

Beskap berbentuk kemeja tebal,tidak berkerah lipat,biasanya berwarna gelap,namun hampir selalu polos.Bagian depan berbentuk simetris,dengan pola kancing menyamping (tidak tegak lurus).Tergantung jenisnya,terdapat perbedaan potongan pada bagian belakang,untuk mengantisipasi keberadaan keris.Beskap selalu dikombinasikan dengan jarik (kain panjang yang dibebatkan untuk menutupi kaki).

Beskap memiliki beberapa variasi yang berbeda potongannya.Berikut adalah jenis-jenis beskap:beskap gaya Solo, beskap gaya Yogya, beskap landing dan beskap gaya kulon


Cara memakai Surjan atau Beskap

Seperti telah disampaikan di atas bahwa Surjan atau beskap merupakan salah satu busana pria adat Jawa yang bersumber dari keraton Mataram. Cara memakainya harus dilakukan dengan tatacara yang memiliki kaidah etika dan estitika tertentu.Susuhunan Pakubuwono IV,Raja Surakarta telah meningatkan kita dalam berpakaian,yaitu : Nyandhang panganggo iku dadekna sarana hambangun manungso njobo njero,marmane pantesan panganggonira,trapna traping panganggon,cudhukana marang kahananing badanira,wujud lan wernane jumbuhna kalawan dedeg pidegso miwah pakulitaniro


(Berpakaian seharusnya dijadikan saran untuk membangun kepribadian manusia lahir dan bathin. Maksudnya berpantaslah dalam berpakaian: berpakaianlah sesuai tempat dan keadaaan, cocokkan antara badan dengan pakaian yang dikenakan,antara situasi, warna dan model/corak pakaian,tinggi badan,berat badan dan warna kulit)

Perlengkapan busana surjan atau beskap:

.Nyamping/ sinjang
.Stagen 
.Sabuk
.Epek lengkap timang dan lerep (anak timang)
.keris / duwung
.Selop / canela 
.Blangkon /udheng /mit


 "Kain Jarik"


Jarik adalah kain panjang berwarna latar hitam dengan corak batik warna coklat dengan motif batik yang beraneka ragam. Kain sebagai khasanah Batik Tradisional Indonesia seringkali disebut juga jarit. Pada masa lalu nyamping atau jarik yang digunakan biasanya berupa batik tulis, tetapi untuk saat ini rupanya tidak jarang pula dipergunakan batik cap. 

Jarik yang bercorak batik mempunyai maksud bahwa jarik batik adalah kostum yang dipakai para ksatria dalam tradisi budaya Jawa (Pakaian kejawen).Dengan memakai kostum berupa jarik ini diharapkan para pemain mempunyai jiwa ksatria dan berwibawa.

.Memakai Sinjang/Nyamping

Nyamping atau Sinjang sebelum dikenakan haruslah diwiru terlebih dahulu.Untuk nyamping busana pria, lebar wiru berukuran 3 jari tangan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam mengenakan nyamping adalah motif batik pada kain nyamping tersebut. Jika nyamping memiliki motif ganda,posisi kepala burung haruslah berada diatas. Ada juga motif yang memakai simbol/bentuk seperti candi atau rumah,maka posisi atap haruslah berada diatas. Saat mengenakan nyamping,posisi wiru berada ditengah tubuh memanjang ke bawah. Tangan kanan memegang wiru dan tangan kiri memegang ujung kain satunya (biasa disebut pengasih. Pengasih ini dililitkan ke kanan hingga pas ditengah tubuh.Usahakan bagian bawah tingginya sama dan cukup menutupi bagian kemiri kaki (bagian belang kaki yang menojol). Setelah dirasa cukup sesuai maka nyamping harus diikat oleh stagen.

.Memakai Stagen
stagen dililitkan dari arah kiri ke kanan mulai dari bawah melingkar ke arah atas.Jika stagen milik anda terlalu panjang,anda dapat meneruskan memilitkan stagen kembali ke arah bawah.Jika sudah cukup,ujung stagen ditekuk dan diselipkan pada bagian bahwa lilitan stagen untuk mengunci lilitan tersebut. Selanjutnya untuk menutupi stagen,kenakanla sabuk.

.Memakai Sabuk


Cara memakai sabuk mirip dengan cara mengenakan stagen yaitu dililitkan berulang kali pada bagian bawah dada hingga ke pinggang. Hanya saja sabuk dililitkan dari arah kanan ke kiri mulai dari atas ke arah bawah.Yang perlu diperhatikan pada pemakaian sabuk adalah jarik sap (garis atas yang satu dengan berikutnya kurang lebih 2 jari tangan). Ujung dari sabuk harus berakhir pada bagian kiri depan dan dapat dikunci dengan peniti.

.Memakai Epek / Kamus


Bentuk epek mirip dengan ikat pinggang. Epek memiliki bagian pengunci yang disebut timang dan bagian lerep (anak timang). Cara mengenakan epek yaitu timang berada pada posisi tengah lurus dengan wiru nyamping. Sementara lerep pada posisi sebelah kiri.Jika memiliki epek yang panjang maka bagian ujung dapat dilipat dan dimasukkan ke bagian lerep. Epek harus terpasang pada lilitan sabuk bagian bahwa,kira-kira 2 jari dari garis bawah sabuk.
Warna sabuk  dan epek ada beberapa macam sesuai dengan keperluan.contohnya :
Sabuk berwarna unggu dengan epek berwarna hijau artinya Wredha Ginugah yang dapat membangun suasana tentram.
Sabuk berwarna hijau atau biru dengan epek berwarna warna merah artinya Satriya Mangsa yang dapat membangun jiwa terampil dan berwibawa. 
Sabuk berwarna Sindur (merah bercampur putih) digunakan pada saat hajatan penganten.Warna ini dipakai bagi yang memiliki hajatan (hamengku damel).
Sementara untuk besan tidak ada aturan yang pasti.Hanya saja pada saat jaman penjajah Jepang,pernah ada paguyuban yang  menentukan warna sabuk Pandhan Binethot (warna hijau dan kuning) bagi besan.

.Memakai Keris/Duwung


 Keris atau dawung dikenakan padabagian belakang busana.Keris diselipkan pada sabuk, tepatnya     pada sab ke tiga dari bagian sabuk.Posisi arah dan kemiringan seperti pada foto di sebelah ini.

Untuk jenis keris ada banyak sekali macamnya,hanya saja yang banyak dikenal oleh awam jenis Ladrang dan Gayaman.Dhuwung ladrang adalah keris resmi yang digunakan dalam upacara ataupun pahargyan (upacara penganten).Sementara jenis gayaman digunakan sehari-hari oleh prajurit keraton.

.Memakai Selop/ canela


Selop dikenakan sebagai alas kaki. Yang perlu diperhatikan pada pemakaian selop adalah ukuran dari selop itu.Jangan mengenakan selop yang lebih besar dari ukuran kaki tapi pilihlah selop yang lebih kecil.Ini bertujuan untuk menghindari agar langkah kita tidak terbelit pada kain nyamping.

.Memakai Blangkon/ udeng/Mid

Pada bagian depan blangkon terdapat segita.Ujung segitiga tersebut harus berada ditengah-tengah kening.Blangkon jangan dikenakan terlalu mendongak ataupun menunduk.

Ada satu hal yang perlu diingat saat mengenakan busana adat,yaitu bahwa sepintas orang dapat mengenali kepribadian seseorang dari busanannya baik warnanya maupun jenis busananya, cara memakai dan bertingkah laku saat mengenakannya. 





Makna Blangkon dan Busana jawa




Meluruskan beberapa anggapan masyarakat tentang filosofi blangkon Jawa/Yogyakarta dengan mondolan yang sering dianggap sebagai watak orang Jawa yang "suka main belakang" tidak terus terang dan licik. Masyarakat Jawa memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkan perasaan dan harapannya dengan simbol-simbol unik dan artistik yang sebenarnya mengandung ajaran dan filosofi adiluhung yang patut dijadikan teladan : (Jangan sampai Wong Jawa kari separo/ilang Jawane)
Tentang Blangkon Yogyakarta

► Bentuk blangkon dengan gaya Yogyakarta hanya terdapat dua buah, yaitu : blangkon dengan bentuk Mataraman dan blangkon dengan bentuk Kagok. Kedua blangkon tersebut terbentuk dari bagian-bagian yang hampir sama, yaitu wiron/wiru, mondolan, cetetan, kemadha, dan tanjunga.

► Motif-motif yang digunakan dalam pembuatan blangkon antara lain : motif modang, blumbangan, kumitir, celengkewengen, jumputan, sido asih, sido wirasat, taruntum. Motif-motif di atas adalah motif yang sering digunakan dalam pembuatan blangkon dengan gaya Yogyakarta . Selain motif utama di atas masih ada motif-motif lain yang sering digunakan dalam pembuatan blangkon. Pemakaian motif diluar motif yang dibuat khusus untuk motif iket merupakan perkembangan dalam pemakaian motif batik.

► Makna Simbolis bentuk blangkon gaya Yogyakarta antara lain :
• Wiron/wiru, berjumlah 17 lipatan yang melambangkan jumlah rakaat sholat dalam satu hari.
• Mondolan mempunyai makna kebulatan tekad seorang pria dalam melaksanakan tugasnya walaupun tugas yang diberikan sangat berat.
• Cetetan, mempunyai makna permohonan pertolongan kepada Allah SWT.
• Kemadha, bermakna menyamakan atau menganggap sama seperti putra sendiri.
• Tanjungan mempunyai makna kebagusan, artinya supaya terlihat lebih tampan sehingga disanjung-sanjung dan dipuja.





Sedangakan makna simbolis motif yang diterapkan pada pembuatan blangkon antara lain :
• Motif Modang, mengandung makna kesaktian untuk meredam angkara murka, yaitu sebelum mengalahkan musuh dari luar harus mengalahkan musuh yang datangnya dari dalam sendiri.
• Motif Celengkewengen, menggambaran keberanian juga berarti sifat kejujuran, polos dan apa adanya
• Motif Kumitir, merupakan pengambaran orang yang tidak mau berdiam diri dan selalu berusaha keras dalam kehidupannya.
• Motif Blumbangan, berasal dari kata blumbang yang berarti kolam atau tempat yang penuh dengan air. Air sendiri merupakan salah satu dari sumber kehidupan.
• Motif Jumputan, berasal dari kata jumput yang berarti mengambil sebagian atau mengambil beberapa unsur yang baik.
• Motif Taruntum, motif ini berbentuk tebaran bunga-bunga kecil yang melambangkan bintang dimalam hari.maknanya bahwa kehidupan manusia tidak lepas dari dua hal, seperti gelap terang, bungah susah, kaya miskin dan sebagainya.
• Motif Wirasat, artinya berupa pengharapan supaya dikabulkan semua permohonannya dan bisa mencapai kedudukan yang tinggi serta bisa mandiri terpenuhi secara materi. h. Motif Sido Asih, motif ini mempunyai harapan agar mendapat perhatian dari sesama dan saling mengasihi. (soen)

Tambahan adanya mondolan di blangkon Ngayogyakarta dibakukan oleh Hamengkubuwono VII, untuk menyiasati rambut pria Jogja yang sebelumnya panjang mulai dipengaruhi budaya barat dengan memotongnya pendek seperti kita sekarang. Jadi rambut yang sebelumnya dimasukkan pada bagian belakang udheng/blangkon yang membuat adanya tonjolan rambut pd belakang blangkon diganti dengan tonjolan mondolan.
Adaptasi ini tidak terjadi pada blangkon gaya Solo sehingga pada blangkon Solo kempes di belakang.

wa